Rabu, 03 Desember 2008

Mengapa Perlu Tasawuf?

KH. Jalaluddin Rakhmat

Sudah 52 tahun kita merdeka. Sudah banyak yang kita capai. Bangsa kita sekarang rata-rata lebih sejahtera, lebih makmur, lebih cerdas, bahkan hidup lebih lama dari kakek-kakek kita sebelumnya. Semuanya terjadi karena perjuangan seluruh bangsa Indonesia, karena kepemimpinan yang kuat dari Bapak Soeharto, dan terutama sekali karena rahmat dan nikmat yang dianugrahkan Allah swt kepada kita semua.

Seraya menyampaikan syukur kita sedalam-dalamnya kepada Tuhan yang Mahaesa, kita juga harus mengakui bahwa masih banyak harapan kita yang belum terpenuhi. Agama Islam mengajarkan bahwa hidup seorang Muslim bergerak di antara dua sikap: syukur ketika mendapat berbagai nikmat dan sabar ketika menerima berbagai musibah. Karena itu Nabi Muhammad saw bersabda, “Apa saja yang menimpa orang Islam selalu mendatangkan kebaikan.” Nikmat membuatnya bersyukur sehingga hatinya dipenuhi kebahagiaan. Syukur membawanya untuk lebih mencintai Tuhan. Musibat melatihnya bersabar sehingga hatinya tetap dalam kedamaian. Sabar juga membimbingnya lebih dekat dengan Tuhan.

Dengan selalu bersyukur kepada Tuhan, keberhasilan tidak membuat seorang Muslim sombong, arogan, atau aji mumpung. Dengan bersabar, segala goncangan kehidupan -apa pun bentuknya- tidak membuat orang menjadi putus asa, frutrasi, atau bertindak sembrono.


Apa yang kita saksikan sekarang ini di negeri kita menunjukkan bahwa nilai-nilai syukur dan sabar itu mulai memudar. Keberhasilan pembangunan telah menyebabkan sebagian di antara kita lupa daratan. Ada di antara kita yang dianugrahi kedudukan yang tinggi. Kita memperlakukan rakyat dengan semena-mena. Kita menyakiti hati orang-orang yang telah memberikan kepercayaan kepada kita. Kita lupa bahwa kekuasaan adalah amanah yang diberikan kepada kita untuk membela yang lemah. Kita lupa bahwa mensyukuri kekuasaan ialah menjalankan kekuasaan di jalan yang diridhoiNya.

Ada di antara kita yang dikaruniai kekayaan yang luas. Kita terlena dengan kekayaan, tanpa pernah merasa puas. Kita gunakan kekayaan yang ada untuk memburu kekayaan yang lebih banyak. Kita selalu merasa kurang. Sebetulnya kita tidak kekurangan apa-apa kecuali kemampuan untuk bersyukur. Tidak pernah terlintas dalam benak kita bahwa tanpa sikap bersyukur, kita tidak akan pernah memperoleh kepuasan. Tanpa bersyukur kekayaan tidak dengan sendirinya mendatangkan kebahagiaan. Kita lupa bahwa kekayaan kita menjadi lebih tinggi nilainya bila dipergunakan untuk membahagiakan sesama manusia. Mensyukuri nikmat kekayaan ialah membagikannya untuk mensejahterakan lebih banyak orang lain.

Karena hilangnya rasa syukur, maka pembangunan telah menimbulkan ekses-ekses yang tidak kita inginkan: korupsi, kolusi, penyalah-gunaan wewenang, keserakahan, dan berbagai tindakan yang menyulut konflik sosial. Hukum yang seharusnya melindungi yang lemah berbalik menjadi alat untuk menindas. Agama yang sepatutnya mengendalikan hawa nafsu berubah menjadi alat legitimasi. Pendidikan yang hakikatnya dimaksudkan untuk membuat orang lebih bijak malah menjadikan orang lebih licik.

Apa yang terjadi kalau sabar tidak lagi menjadi sikap hidup? Kegagalan dalam kehidupan membuat kita frustrasi. Makin meningkat harapan kita, makin sering harapan itu tidak terpenuhi, makin resah kita. Hasil-hasil pembangunan kita belum dapat dinikmati semua orang. Sumber daya manusia yang kita miliki belum sanggup bersaing dalam pasar global. Sistem ekonomi kita berulang kali digoncangkan oleh berbagai faktor yang tidak dapat kita perkirakan. Sistem sosial kita belum berhasil sepenuhnya memberikan peluang bagi mobilitas sosial yang kita inginkan. Tanpa nilai sabar, kita menjadi sinis. Kita mencari kambung hitam dari kegagalan kita. Saya kira inilah yang menyebabkan berbagai kerusuhan, konflik SARA, tawuran di kalangan pelajar, dan meningkatnya kejahatan secara kualitatif dan kuantitatif. Rasa tidak puas dapat dengan mudah disusupi oleh ideologi-ideologi yang destruktif. Pada akhirnya, kesatuan dan persatuan nasional yang kita bangun dengan susah payah akan terancam.

Mungkin kita bertanya: Mengapa agama yang mengajarkan rasa syukur dan sabar itu tidak tercermin dalam perilaku masyarakat kita sekarang? Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Saya kira apa pun agama yang kita anut, semuanya menjungjung nilai syukur dan sabar. Tetapi mengapa kita tidak melihatnya dalam kehidupan kita sehar-hari?.

Saya bukan ahli agama. Tapi saya tahu bahwa setiap agama selalu mengandung dua aspek. Pertama, aspek lahiriah (eksoteris), yang berkaitan dengan ritus-ritus keagamaan. Pada bagian ini, kita melihat perbedaan di antara berbagai agama. Dalam Islam, aspek ini disebut aspek syari’at. Kedua, aspek batiniah (esoteris), yang berkaitan dengan nilai-nilai luhur keagamaan. Di sini, berbagai mazhab dan agama bersatu. Inilah dimensi mistikal dari ajaran agama. Dalam Islam, kita mengenalnya sebagai tasawuf.

Saya pikir sudah tiba saatnya bagi bangsa Indonesia untuk menggali nilai-nilai luhur dari ajaran agamanya. Saya sama sekali tidak menafikan pentingnya aspek syari’at. Kita masih harus memperdalam pengetahuan kita di dalamnya. Kita juga tidak boleh meninggalkan aturan-aturan syariat Islam. Syariat kita perlukan untuk memperbaiki perilaku lahiriah kita. Namun kita perlu bergerak lebih jauh. Kita harus memperindah pelaksanaan syariat kita dengan tasawuf. Kita harus melakukan salat sesuai dengan aturan syariat supaya salat kita sah; namun kita juga harus belajar bagaimana supaya salat kita khusyuk. Kita harus mempelajari manasik haji agar ibadah haji kita sesuai dengan tuntunan syariat; tapi, kita juga harus menghayati makna setiap gerakan haji yang kita lakukan.

Jadi, tasawuf bukan pengganti syariat. Tasawuf melanjutkan syariat. Nabi Muhammad saw bersabda, “Syariat adalah ucapanku. Thariqat adalah perbuatanku. Haqiqat adalah keadaanku.” Dengan begitu, tasawuf bukanlah sesuatu yang terpisah dari ajaran Islam. Tasawuf juga bersumber pada Al-Quran dan al-Sunnah. Sdr Dr Said Aqil Siraj akan menjelaskan daras-dasar tasawuf dalam Al-Quran dan al-Sunnah.

Menurut Aisyah radhiyallahu ‘an, Nabi Muhammad saw pernah salat malam sambil menangis. Tidak henti-hentinya beliau menangis sampai basah janggutnya dengan air matanya. Ketika sahabat beliau bertanya mengapa, beliau menjawab, “Aku belum menjadi hamba yang bersyukur.” Bagi Rasulullah saw, salat bukan hanya memenuhi kewajiban syariat. Salat adalah ungkapan syukur. Dan beliau merasa seluruh ibadatnya masih belum cukup untuk mensyukuri nikmat Allah yang dianugrahkan kepadanya.

Ketika seorang sahabat mengeluh karena tubuhnya sakit dan hartanya hilang, Nabi Muhammad saw menghiburnya. Beliau bersabda, “Tidak ada baiknya seseorang yang tidak pernah sakit dan tidak pernah kehilangan harta. Sesungguhnya Allah bila mencintai seorang manusia, Dia memberinya penderitaan. Kemudian dia memberikan kepadanya kesabaran untuk menanggung penderitaan itu.” Tuhan berfirman, “Minta tolonglah dengan sabar dan salat. Sesungguhnya yang demikian itu berat kecuali buat orang-orang yang khusyuk.” Diriwayatkan bahwa bila digoncangkan oleh urusan yang berat beliau salat. Dalam hal ini, Nabi Muhammad saw melakukan salat bukan hanya untuk memenuhi syariat. Salat menjadi wahana untuk memperteguh batinnya dengan kesabaran.

Bagaimana bersyukur dan bagaimana bersabar adalah bagian dari ajaran tasawuf. Tentu saja tasawuf tidak terbatas pada keduanya. Saya tidak akan memperkenalkan tasawuf dalam kesempatan ini. Tapi, saya yakin bahwa sudah sampai saatnya kita menghidupkan kembali nilai-nilai spiritual dari ajaran Islam pada saat bangsa kita dihadapkan pada tantangan-tantangan besar.

Tidak ada komentar: