Rabu, 27 Juni 2007

Dasar Thoriqoh

وَأَلَّوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ َلأَسْقَيْنَاهُم مَّاء غَدَقاً

“Dan jika manusia tetap pada suatu Thoriqoh, pasti mereka akan mendapatkan air yang menyegarkan”. (Qs: Al Jin 16)

Berdasarkan Qs: Al Jin 16, ajaran Thoriqoh adalah ajaran agama Islam, bukan ajaran Ulama’ Salaf (Ulama pertengahan setelah para sahabat), sebagaimana anggapan sebagian kecil ummat Islam. Ajaran Thoriqoh itu dititikberakan kepada ajaran Dzikrulloh. Masalah Dzikrulloh telah di contohkan atau diajarkan oleh Nabi Besar Muhammad SAW. Tersebut di dalam al-Qur’an :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَاليَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً

“Sungguh ada bagi kamu di dalam diri Rosul itu contoh yang bagus, bagi siapa saja yang ingin bertemu Alloh dan hari akhir, maka Dzikirlah kepada Alloh yang sebanyak-banyak- nya”. (Qs: Al-Ahzab : 21)

Ajaran Thoriqoh / Dzikrulloh ini adalah ajaran yang bersifat khusus, artinya tidak akan diberikan / diajarkan kepada siapa saja, selama orang itu tidak memintanya. Oleh sebab itu untuk menerima ajaran Thoriqoh/Dzikrulloh ini harus melalui Bai’at, tersebut di dalam al-Qur’an surat:

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْراً عَظِيماً

Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar” (Qs: Al Fath : 10)

Riwayat Bayazid Al-Busthami

Seringkali kita juga lebih mudah untuk mendapatkan pelajaran dari cerita-cerita sederhana ketimbang uraian-uraian panjang yang ilmiah. Berikut ini sebuah cerita dari Bayazid Al-Busthami, yang insya Allah, dapat kita ambil pelajaran daripadanya; Di samping seorang sufi, Bayazid juga adalah pengajar tasawuf. Di antara jamaahnya, ada seorang santri yang juga memiliki murid yang banyak. Santri itu juga menjadi kyai bagi jamaahnya sendiri. Karena telah memiliki murid, santri ini selalu memakai pakaian yang menunjukkan kesalihannya, seperti baju putih, serban, dan wewangian tertentu.

Suatu saat, muridnya itu mengadu kepada Bayazid, "Tuan Guru, saya sudah beribadat tiga puluh tahun lamanya. Saya shalat setiap malam dan puasa setiap hari, tapi anehnya, saya belum mengalami pengalaman ruhani yang Tuan Guru ceritakan. Saya tak pernah saksikan apa pun yang Tuan gambarkan."

Bayazid menjawab, "Sekiranya kau beribadat selama tiga ratus tahun pun, kau takkan mencapai satu butir pun debu mukasyafah dalam hidupmu."

Murid itu heran, "Mengapa, ya Tuan Guru?"

"Karena kau tertutup oleh dirimu," jawab Bayazid.

"Bisakah kau obati aku agar hijab itu tersingkap?" pinta sang murid.

"Bisa," ucap Bayazid, "tapi kau takkan melakukannya."

"Tentu saja akan aku lakukan," sanggah murid itu.

"Baiklah kalau begitu," kata Bayazid, "sekarang tanggalkan pakaianmu. Sebagai gantinya, pakailah baju yang lusuh, sobek, dan compang-camping. Gantungkan di lehermu kantung berisi kacang. Pergilah kau ke pasar, kumpulkan sebanyak mungkin anak-anak kecil di sana. Katakan pada mereka, "Hai anak-anak, barangsiapa di antara kalian yang mau menampar aku satu kali, aku beri satu kantung kacang." Lalu datangilah tempat di mana jamaah kamu sering mengagumimu. Katakan juga pada mereka, "Siapa yang mau menampar mukaku, aku beri satu kantung kacang!"

"Subhanallah, masya Allah, lailahailallah," kata murid itu terkejut.

Bayazid berkata, "Jika kalimat-kalimat suci itu diucapkan oleh orang kafir, ia berubah menjadi mukmin. Tapi kalau kalimat itu diucapkan oleh seorang sepertimu, kau berubah dari mukmin menjadi kafir."

Murid itu keheranan, "Mengapa bisa begitu?"

Bayazid menjawab, "Karena kelihatannya kau sedang memuji Allah, padahal sebenarnya kau sedang memuji dirimu. Ketika kau katakan: Tuhan mahasuci, seakan-akan kau mensucikan Tuhan padahal kau menonjolkan kesucian dirimu."

"Kalau begitu," murid itu kembali meminta, "berilah saya nasihat lain."

Bayazid menjawab, "Bukankah aku sudah bilang, kau takkan mampu melakukannya!"

Cerita ini mengandung pelajaran yang amat berharga. Bayazid mengajarkan bahwa orang yang sering beribadat mudah terkena penyakit ujub dan takabur. "Hati-hatilah kalian dengan ujub," pesan Iblis. Dahulu, Iblis beribadat ribuan tahun kepada Allah. Tetapi karena takaburnya terhadap Adam, Tuhan menjatuhkan Iblis ke derajat yang serendah-rendahnya.

Takabur dapat terjadi karena amal atau kedudukan kita. Kita sering merasa menjadi orang yang penting dan mulia. Bayazid menyuruh kita menjadi orang hina agar ego dan keinginan kita untuk menonjol dan dihormati segera hancur, yang tersisa adalah perasaan tawadhu dan kerendah-hatian. Hanya dengan itu kita bisa mencapai hadirat Allah swt.

Orang-orang yang suka mengaji juga dapat jatuh kepada ujub. Mereka merasa telah memiliki ilmu yang banyak. Suatu hari, seseorang datang kepada Nabi saw, "Ya Rasulallah, aku rasa aku telah banyak mengetahui syariat Islam. Apakah ada hal lain yang dapat kupegang teguh?" Nabi menjawab, :"Katakanlah: Tuhanku Allah, kemudian ber- istiqamah-lah kamu."

Ujub seringkali terjadi di kalangan orang yang banyak beribadat. Orang sering merasa ibadat yang ia lakukan sudah lebih dari cukup sehingga ia menuntut Tuhan agar membayar pahala amal yang ia lakukan. Ia menganggap ibadat sebagai investasi.

Orang yang gemar beribadat cenderung jatuh pada perasaan tinggi diri. Ibadat dijadikan cara untuk meningkatkan statusnya di tengah masyarakat. Orang itu akan amat tersinggung bila tidak diberikan tempat yang memadai statusnya. Sebagai seorang ahli ibadat, ia ingin disambut dalam setiap majelis dan diberi tempat duduk yang paling utama.

Tulisan ini saya tutup dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnad-nya; Suatu hari, di depan Rasulullah saw Abu Bakar menceritakan seorang sahabat yang amat rajin ibadatnya. Ketekunannya menakjubkan semua orang. Tapi Rasulullah tak memberikan komentar apa-apa. Para sahabat keheranan. Mereka bertanya-tanya, mengapa Nabi tak menyuruh sahabat yang lain agar mengikuti sahabat ahli ibadat itu. Tiba-tiba orang yang dibicarakan itu lewat di hadapan majelis Nabi. Ia kemudian duduk di tempat itu tanpa mengucapkan salam. Abu Bakar berkata kepada Nabi, "Itulah orang yang tadi kita bicarakan, ya Rasulallah." Nabi hanya berkata, "Aku lihat ada bekas sentuhan setan di wajahnya."

Nabi lalu mendekati orang itu dan bertanya, "Bukankah kalau kamu datang di satu majelis kamu merasa bahwa kamulah orang yang paling salih di majelis itu?" Sahabat yang ditanya menjawab, "Allahumma, na'am. Ya Allah, memang begitulah aku." Orang itu lalu pergi meninggalkan majelis Nabi.

Setelah itu Rasulullah saw bertanya kepada para sahabat, "Siapa di antara kalian yang mau membunuh orang itu?" "Aku," jawab Abu Bakar. Abu Bakar lalu pergi tapi tak berapa lama ia kembali lagi, "Ya Rasulallah, bagaimana mungkin aku membunuhnya? Ia sedang ruku'." Nabi tetap bertanya, "Siapa yang mau membunuh orang itu?" Umar bin Khaththab menjawab, "Aku." Tapi seperti juga Abu Bakar, ia kembali tanpa membunuh orang itu, "Bagaimana mungkin aku bunuh orang yang sedang bersujud dan meratakan dahinya di atas tanah?" Nabi masih bertanya, "Siapa yang akan membunuh orang itu?" Imam Ali bangkit, "Aku." Ia lalu keluar dengan membawa pedang dan kembali dengan pedang yang masih bersih, tidak berlumuran darah, "Ia telah pergi, ya Rasulullah." Nabi kemudian bersabda, "Sekiranya engkau bunuh dia. Umatku takkan pecah sepeninggalku...."

Dari kisah ini pun kita dapat mengambil hikmah: Selama di tengah- tengah kita masih terdapat orang yang merasa dirinya paling salih, paling berilmu, dan paling benar dalam pendapatnya, pastilah terjadi perpecahan di kalangan kaum muslimin. Nabi memberikan pelajaran bagi umatnya bahwa perasaan ujub akan amal salih yang dimiliki adalah penyebab perpecahan di tengah orang Islam. Ujub menjadi penghalang naiknya manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Penawarnya hanya satu, belajarlah menghinakan diri kita. Seperti yang dinasihatkan Bayazid Al-Busthami kepada santrinya.

Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah (2)

Syaikh Ahmad Khatib memiliki banyak wakil, di antaranya adalah: Syaikh Abdul Karim dari Banten, Syaikh Ahmad Thalhah dari Cirebon, dan Syaikh Ahmad Hasbullah dari Madura, Muhammad Isma'il Ibn Abdul Rahim dari Bali, Syaikh Yasin dari Kedah Malaysia, Syaikh Haji Ahmad dari Lampung dan Syaikh Muhammad Makruf Ibn Abdullah al-Khatib dari Palembang. Mereka kemudian menyebarkan ajaran tarekat ini di daerah masing-masing.

Penyebaran ajaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah di daerah Sambas Kalimantan Barat (asal Syaikh Ahmad Khatib) dilakukan oleh dua orang wakilnya yaitu Syaikh Nuruddin dari Philipina dan Syaikh Muhammad Sa'ad putra asli Sambas. Baik di Sambas sendiri, maupun di daerah-daerah lain di luar pulau Jawa, Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah tidak dapat berkembang dengan baik. Keberadaan tarekat ini di luar pulau Jawa, termasuk di beberapa negara tetangga berasal dari kemursyidan yang ada di pulau Jawa. Penyebab ketidakberhasilan penyebaran tarekat ini di luar pulau Jawa adalah karena tidak adanya dukungan sebuah lembaga permanen seperti pesantren.

Setelah Syaikh Ahmad Khatib wafat (1878), pengembangan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dilakukan oleh salah seorang wakilnya yaitu Syaikh Tolhah bin Talabudin bertempat di kampung Trusmi Desa Kalisapu Cirebon. Selanjutnya Beliau disebut Guru Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah untuk daerah
Cirebon dan sekitarnya. Salah seorang muridnya yang bernama Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad yang kemudian dikenal sebagai Pendiri Pondok Pesantren Suryalaya. Setelah berguru sekian lama, maka dalam usia 72 tahun ,beliau mendapat khirqah (pengangkatan secara resmi sebagai guru dan pengamal ) Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dari gurunya Mama Guru Agung Syakh Tolhah Bin Talabudin ( dalam silsilah urutan ke 35 ). Selanjutnya Pondok Pesantren suryalaya menjadi tempat bertanya tentang Thoreqat Qodiriyah Naqsabandiyah.

Dengan demikian , Syaikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad ra. dalam silsilah Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah berada pada urutan ke 36 setelah Syaikh Tholhah bin Talabudin ra.

Syaikh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad di kalangan para ikhwan (murid-muridnya) lebih dikenal dengan panggilan "Abah Sepuh".karena usia beliau memang sudah tua atau sepuh, saat itu usianya sekitar 116 tahun. Di antara murid-murid beliau ada yang paling menonjol dan memenuhi syarat untuk melanjutkan kepemimpinan beliau. Murid tersebut adalah putranya sendiri yang ke-5 yaitu KH.A. Shohibulwafa Tajul Arifin diangkat sebagai (wakil Talqin) dan sering diberi tugas untuk melaksanakan tugas-tugas keseharian beliau, oleh karena itu para ikhwan tarekat memanggil beliau "Abah Anom " (Kyai Muda) karena usianya sekitar 35 tahun. Sepeninggal Syaikh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad sebagai mursyid Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah yang berpusat di Pondok Pesantren Suryalaya dilanjutkan oleh KH.A. Shohibulwafa Tajul Arifin ( Abah Anom) sampai sekarang, beliau mempunyai wakil talqin yang cukup banyak dan tersebar di 35 wilayah, termasuk Singapura dan Malaysia.

Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah adalah sebuah tarekat yang berdiri pada abad XIX M. oleh seorang sufi besar asal Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa dinamika intelektual umat Islam Indonesia pada saat itu cukup memberikan sumbangan yang berarti bagi sejarah peradaban Islam, khususnya di Indonesia. Kemunculan tarekat ini dalam sejarah sosial intelektual umat Islam Indonesia dapat dikatakan sebagai jawaban atas "keresahan Umat" akan merebaknya ajaran "wihdah al-wujud" yang lebih cenderung memiliki konotasi panteisme dan kurang menghargai Syari'at Islam. Jawaban ini bersifat moderat, karena selain berfaham syari'at sentris juga mengakomodasi kecenderungan mistis dan sufistis masyarakat Islam Indonesia.

Pesatnya perkembangan tarekat ini rupanya tidak terlepas dari corak dan pandangan kemasyarakatan. Contoh kiprah kemasyarakatan termasuk dalam masalah politik yang diperankan oleh mursyid tarekat ini memberikan isyarat bahwa tarekat ini tidak anti duniawi (pasif dan ekslusif). Dengan demikian, kesan bahwa tarekat adalah lambang kejumudan sebuah peradaban tidak dapat dibenarkan.

Azas Tujuan Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah
Pondok Pesantren Suryalaya

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Ilahi Anta Maqshuudii Waridloka Mathluubi A’thini Mahabbataka wa Ma’rifataka

Artinya : Ya Tuhanku ! hanya Engkaulah yang ku maksud, dan keridlaan Mulah yang kucari. Berilah aku kemampuan untuk bisa mencintaiMu dan ma’rifat kepadaMu.

Doa tersebut diatas oleh para ikhwan Thoriqah Qadiriyah Naqsayabandiyah wajib dibaca dua kali.

Dalam doa tersebut mengandung tiga bagian :

  1. Taqorub terhadap Allah SWT.
    Ialah mendekatkan diri kepad Allah dalam jalan ubudiyah yang dalam hal ini dapat dikatakan tak ada sesuatunyapun yang menjadi tirai penghalang antara abid dan ma’bud, antara choliq dan makhluq.
  2. Menuju jalan mardhotillah
    Ialah menuju jalan yang diridloi Allah SWT. baik dalam ubudiyah maupun di luar ubudiyah, jadi dalam segala gerak-gerik manusia diharuskan mengikuti atau mentaati perintah Tuhan dan menjauhi atau meninggalkan larangan-NYA.
    Hasil budi pekerti menjadi baik, akhlak pun baik dan segala hal ikhwalnya menjadi baik pula, baik yang berhubungan dengan Tuhan maupun yang berhubungan dengan sesama manusia atau dengan mahluk Allah dan insya Allah tidak akan lepas dari keridloan Allah SWT.
  3. Kemahabbahan dan kema’rifatan terhadap Allah S.W.T
    Rasa cinta dan ma’rifat terhadap Allah “Dzat Laisa Kamitslihi Syaiun” yang dalam mahabbah itu mengandung keteguhan jiwa dan kejujuran hati. Kalau telah tumbuh Mahabbah, timbullah berbagai macam hikmah di antaranya membiasakan diri dengan selurus-lurusnya dalam hak dhohir dan bathin, dapat pula mewujudkan “keadilan” yakni dapat menetapkan sesuatu dalam haknya dengan sebenar-benarnya. Pancaran dari mahabbah datang pula belas kasihan ke sesama makhluk diantaranya cinta pada nusa ke segala bangsa beserta agamanya. Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah ini adalah salah satu jalan buat membukakan diri supaya tercapai arah tujuan tersebut.

Suryalaya 10 November 1960

Ttd.
(KH. A Shohibulwafa Tajul ‘Arifin).

Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah (1)

Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah adalah perpaduan dari dua buah tarekat besar, yaitu Thariqah Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah. Pendiri tarekat baru ini adalah seorang Sufi Syaikh besar Masjid Al-Haram di Makkah al-Mukarramah bernama Syaikh Ahmad Khatib Ibn Abd.Ghaffar al-Sambasi al-Jawi (w.1878 M.). Beliau adalah seorang ulama besar dari Indonesia yang tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah. Syaikh Ahmad Khatib adalah mursyid Thariqah Qadiriyah, di samping juga mursyid dalam Thariqah Naqsabandiyah. Tetapi ia hanya menyebutkan silsilah tarekatnya dari sanad Thariqah Qadiriyah saja. Sampai sekarang belum diketemukan secara pasti dari sanad mana beliau menerima bai'at Thariqah Naqsabandiyah.

Sebagai seorang mursyid yang kamil mukammil Syaikh Ahmad Khatib sebenarnya memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya. Karena dalam tradisi Thariqah Qadiriyah memang ada kebebasan untuk itu bagi yang telah mempunyai derajat mursyid. Karena pada masanya telah jelas ada pusat penyebaran Thariqah Naqsabandiyah di
kota suci Makkah maupun di Madinah, maka sangat dimungkinkan ia mendapat bai'at dari tarekat tersebut. Kemudian menggabungkan inti ajaran kedua tarekat tersebut, yaitu Thariqah Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah dan mengajarkannya kepada murid-muridnya, khususnya yang berasal dari Indonesia.

Penggabungan inti ajaran kedua tarekat tersebut karena pertimbangan logis dan strategis, bahwa kedua tarekat tersebut memiliki inti ajaran yang saling melengakapi, terutama jenis dzikir dan metodenya. Di samping keduanya memiliki kecenderungan yang sama, yaitu sama-sama menekankan pentingnya syari'at dan menentang faham Wihdatul Wujud. Thariqah Qadiriyah mengajarkan Dzikir Jahr Nafi Itsbat, sedangkan Thariqah Naqsabandiyah mengajarkan Dzikir Sirri Ism Dzat. Dengan penggabungan kedua jenis tersebut diharapkan para muridnya akan mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih mudah atau lebih efektif dan efisien. Dalam kitab Fath al-'Arifin, dinyatakan tarekat ini tidak hanya merupakan penggabungan dari dua tarekat tersebut. Tetapi merupakan penggabungan dan modifikasi berdasarkan ajaran
lima tarekat, yaitu Tarekat Qadiriyah, Tarekat Anfasiyah, Junaidiyah, dan Tarekat Muwafaqah (Samaniyah). Karena yang diutamakan adalah ajaran Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah, maka tarekat tersebut diberi nama Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Disinyalir tarekat ini tidak berkembang di kawasan lain (selain kawasan Asia Tenggara).

Penamaan tarekat ini tidak terlepas dari sikap tawadlu' dan ta'dhim Syaikh Ahmad Khathib al-Sambasi terhadap pendiri kedua tarekat tersebut. Beliau tidak menisbatkan nama tarekat itu kepada namanya. Padahal kalau melihat modifikasi ajaran yang ada dan tatacara ritual tarekat itu, sebenarnya layak kalau ia disebut dengan nama Tarekat Khathibiyah atau Sambasiyah, karena memang tarekat ini adalah hasil ijtihadnya.

Sebagai suatu mazhab dalam tasawuf, Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah memiliki ajaran yang diyakini kebenarannya, terutama dalam hal-hal kesufian. Beberapa ajaran yang merupakan pandangan para pengikut tarekat ini bertalian dengan masalah tarekat atau metode untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Metode tersebut diyakini paling efektif dan efisien. Karena ajaran dalam tarekat ini semuanya didasarkan pada Al-Qur'an, Al-Hadits, dan perkataan para 'ulama arifin dari kalangan Salafus shalihin.

Setidaknya ada empat ajaran pokok dalam tarekat ini, yaitu : tentang kesempurnaan suluk, tentang adab (etika), tentang dzikir, dan tentang murakabah.

Tentang Pohon Thoyyibah


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللّهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاء

24. Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik [*] seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.

[*] Termasuk dalam "kalimat yang baik" ialah kalimat tauhid, segala ucapan yang menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari kemungkaran serta perbuatan yang baik. Kalimat tauhid seperti "Laa ilaa ha illallaah".

تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللّهُ الأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

25. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.

Maha Besar Allah yang telah senantiasa memberikan petunjuk yang baik kepada manusia melalui kalam Nya. Petunjuk bagi mereka yang berfikir tentunya, begitulah Allah selalu memberikan batasan yang jelas terhadap segala sesuatu. Semoga kita semua termasuk di dalamnya, Amin.

PETUNJUK YANG NYATA

Masyaallah ….. Tidaklah sulit bagi Allah untuk membuktikan bahwa Ar – rohman dan Ar – rohim adalah sifat Nya, hanyalah kita makhluk yang selalu tidak tahu atau tidak tahu menahu karena tidak menggunakan akalnya untuk selalu berfikir. Lihatlah bagaimana setelah sebelumnya Allah memberikan gambaran tentang kebingungan manusia ketika “Yaumul Hisaab”. Kebingungan orang-orang yang telah menjadikan Syaithan yang menghuni rongga hatinya [Ibrohim:22] sebagai manusia yang terpedaya. dan bagaimana Allah menggambarkan orang-orang yang tetap dengan keimanannya dengan menjaga kemurnian ke Esa an Allah mengucapkan salam penghormatan kepada “Syurga” [Ibrohim:23] dan kekal dengan ijin Tuhan Nya. Kemudian barulah Allah memberikan petunjuk yang nyata agar orang-orang yang dikehendaki Nya bisa membersihkan rongga dadanya dari selain Allah, agar mereka bisa bebas dari tipu daya Syaithan. Begitulah Allah dengan sifat Rahman dan Rahimnya.

Tersebutlah dalam QS Ibrohim:24 Allah mengawalinya dengan peringatan yang keras (أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ), seolah ada hal yang sangat penting yang harus diperhatikan, dan memang begitulah adanya. Karena Allah telah membuat gambaran yang jelas tentang كَلِمَةً طَيِّبَةً yang tidak lain adalah kalimat suci nafi-isbat, kalimat yang menafikan semua yang baru dan mengisbatkan Yang Tak Berawal, Tak Berakhir dan berKekalan, kalimat yang begitu mengagungkan Allah, kalimat yang bisa menyelamatkan manusia dari selain Allah. Begitu suci dan agungnya sehingga Allah memandang begitu perlu untuk membuat gambaran-gambaran dan perumpamaan-perumpamaan sebagai bentuk pujian kepada kalimat suci tersebut. Maha suci Allah … bagaimana manusia tidak berfikir? Allah telah menciptakan sesuatu (kalimat suci tersebut) dan Allah pulalah yang begitu mengagungkan dan memujinya.

كَشَجَرةٍ طَيِّبَةٍ seperti Pohon Thoyyibah Allah mengumpamakan Kalimat Suci tersebut, pohon yang kokoh, indah dan rindang. Yang أَصْلُهَا ثَابِتٌ akarnya kokoh teguh menancap ke bumi, menandakan tidak akan pernah roboh tumbang oleh apapun dan فَرْعُهَا فِي السَّمَاء cabangnya menjulang tinggi memenuhi langit, memberikan kerindangan dan kesejukan bagi bumi. Allahu Akbar, pohon apakah itu? Mengapa Allah sampai menggambarkan itu sedemikian megah dan tak pernah terpikir dalam dunia nyata?

Dan bukan hanya itu, Allah memberikan sesuatu hal yang lebih menakjubkan lagi terdapat dalam QS Ibrohim:25, تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ masyaallah… pohon itu akan berbuah di setiap musim, tidak akan berhenti berbuah di semua musim, musim hujan berbuah, musim kemarau berbuah, بِإِذْنِ رَبِّهَا dengan ijin Rabb nya, dengan ijin yang menanam atau yang merawat memelihara pohon tersebut. Begitulah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu dikhususkan bagi manusia agar selalu ingat kepada Allah.

Apakah sebenarnya yang tersirat dalam ayat-ayat ini? Apakah maksud Allah mengutus Jibril agar menyampaikan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan sebagai kabar yang begitu menggembirakan dan menyenangkan. Marilah kita coba men – tafakkuri - nya dan menafsirkannya melalui pendekatan ilmu thoriqoh, karena kita sedang menempuhnya, dan kita sedang melaksanakannya atau mengamalkannya.

كَلِمَةً طَيِّبَةً atau kalimat suci “Laa ilaaha illallaah” dengan jelas digambarkan sebagai Pohon Thoyyibah yang sedemikian megahnya, beruntunglah kita (para ikhwan) yang telah mempunyai bibitnya dari “talqin”. Tingga bagaimana kita menanamnya dan merawatnya agar kita diberi wewenang oleh Allah untuk membuat pohon itu berbuah dan memetik buahnya kapan saja kita membutuhkannya, karena dengan jelas Allah mengatakan بِإِذْنِ رَبِّهَا bukan “Atas Ijin Allah” tapi “Atas Ijin Rabbnya”.

Kita yang akan membuatnya berbuah dan memetik buahnya kapan saja kita membutuhkannya, tentu saja jika syarat yang di gambarkan oleh Allah dalam QS Ibrohim:24 telah terpenuhi.

Yang pertama adalah jika kalimat suci “Laa ilaaha illallah” akarnya benar-benar tertancap teguh dalam rongga dada kita, dalam hati dan qalbu, selalu ada dan tidak pernah hilang dalam keadaan apapun. Lalu bagaimana kita menanam bibit Pohon Thoyyibah dan dan merawatnya agar akarnya kuat tertancap di dalam rongga dada kita? Sehingga tumbuh subur bercabang rindang, sehingga kita bisa memenuhi syarat kedua yang digambarkan Allah yaitu : kerindangan daun dan cabang kalimat suci “Laa ilaaha illallaah” memenuhi langit-langit otak kita, dingin dan menyejukkan. Semoga kita senantiasa diberi kekuatan untuk merawat Pohon Thoyyibah ini, agar kita dapat membuatnya berbuah dan memetiknya di setiap musim, sekarang di dunia maupun nanti di akherat.

Bukannya tiada maksud Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu, melainkan agar kita selalu mengingat Allah, selalu berdzikir kepada Allah.

MENGAPA SURAT IBROHIM

Setelah diperhatikan, ada hal yang sudah sepatutnya dipertanyakan. Mengapa perumpamaan-perumpamaan “Kalimat Suci” atau “Kalimat Thayyibah” ini diletakkan di surat Ibrohim? Mengapa bukan surat-surat yang lain?

Begitu telitinya Allah sehingga telah menempatkan sesuatu di tempat sebagaimana mestinya, Allah telah memberikan bingkai perumpamaan- perumpamaan itu dengan sosok Ibrohim yang begitu dikaguminya, begitu dikagumi sehingga diabadikan dalam Shalawat Ibrohimy kita memohon salam bagi baginda Rosul seperti Allah telah memberikan salam Nya kepada Ibrohim, memohon berkah bagi baginda Rosul seperti Allah telah memberikan berkah Nya kepada Ibrohim. Bukankah kita telah tahu bahwa yang terakhir lebih baik dari yang mengawali?

Apa sebenarnya yang terjadi dengan Ibrohim, sehingga telah mendapatkan penghormatan khusus dari Allah?

Dalam Al Quran sudah jelas bahwa Ibrohim lah satu-satunya yang telah terbukti mengamalkan “Kalimat Thoyyibah”, yang telah berhasil menjadikan Allah satu-satunya yang ada dalam hatinya, bukan anak (Ismail) hasil munajatnya kepada Allah selama 20 tahun, yang selalu diimpikan dan diidamkan. Maka ketika Allah meminta kembali sesuatu yang memang bukan kepunyaan Ibrohim, beliau sedikitpun tidak merasa ragu untuk menyerahkannya. Karena walau bagaimanapun Ismail menjelma menjadi sesuatu yang dikasihi dan disayanginya, tapi tidak pernah menggeser posisi Allah yang telah memenuhi rongga hatinya. Seperti yang telah diamalkannya dalam “Kalimat Thoyyibah”.

Hal yang tidak bisa kita bayangkan, bagaimana bisa sesuatu yang diidamkan selama 20 tahun telah didapatkan, tidak dalam waktu yang lama harus dikembalikan? Bagaimana dengan kita (para ikhwan) yang mengaku telah mengamalkan “Kalimat Thoyyibah” ? apakah Allah telah menjadi “The One” satu-satunya yang ada dalam hati kita. Apakah masih ada sesuatu yang lain yang membuat hati kita mendua, atau bahkan menghilangkan Allah sama sekali dari hati.

Begitulah Ibrohim, selain mendapatkan penghormatan khusus dari Allah, Ibrohim juga telah mendapatkan hadiah di dunia, dengan digantikannya Ismail oleh Allah dengan domba sebagai lambang “Al Maidah” yang sempurna. Kulitnya yang begitu hangat untuk dijadikan pakaian, dagingnya yang cukup untuk dimakan. Maka yakinlah dengan “Pohon Thoyyibah” yang buahnya juga bisa dinikmati pada segala musim, termasuk di dunia.